Menjadi Multitasker, Cukup Melelahkan dan Berasa Toxic pada Diri Sendiri

 


Hai Sunnies, aku berharap kalian selalu dalam lindungan Allah SWT dan selalu memperoleh keberkahan dalam setiap keadaan. Amiin … And I hope you will always face easy days in your life..

Aku ingin sedikit bercerita sekaligus berbagi pengalaman sebagai seorang multitasker selama belajar di perguruan tinggi. Aku juga berharap postingan ini bisa dijadikan sebagai evaluasi bagi teman-teman yang saat ini menjadi seorang multitasker, agar tidak terlalu kaku pada diri sendiri, yang justru dapat mempengaruhi kesehatan fisik bahkan mental.

Sebelumnya aku mau jelasin dulu siapa itu multitasker biar kita bisa saling mengedukasi.

Dalam kamus Merriam Webster dijelaskan bahwa makna dari Multitasker adalah someone or something that performs multiple tasks. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa multitasker adalah istilah yang ditujukan bagi seseorang yang mampu menjalankan banyak tugas atau kegiatan secara sekaligus.

Dari deskripsi singkat di atas, aku harap teman-teman yang masih asing dengan istilah ini, sudah bisa sedikit memahami maksudnya.

Then, let’s start the story session..

Pada tahun 2018, Aku mendaftarkan diri ke salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Timur, UIN SATU, dan Alhamdulillah aku diterima di jurusan Tadris Bahasa Inggris (TBI) melalui jalur ujian UMPTKIN.

Kebetulan beberapa bulan sebelum mengikuti ujian UMPTKIN, aku sudah bekerja sebagai seorang freelancer dalam bidang kepenulisan, tepatnya awal tahun 2018 setelah memutuskan resign dari salah satu kursusan di Tulungagung.

Sejak bekerja sebagai seorang penulis lepas, aku sudah terbiasa begadang, bahkan hingga menjelang subuh. Pada saat itu, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa mengumpulkan uang untuk membayar UKT, sehingga aku bisa meringankan beban orang tuaku. Money was important for me cause I had promised to my Mom that I will handle my needs during study.

Awal masuk perkuliahan tepatnya pada momen pengenalan kampus, semua masih terasa baik-baik saja, normal. Tidak ada perubahan yang signifikan pada hidupku. Ya masih gitu-gitu saja, menulis dari pagi sampai malam. Intinya belum merasa terdistrak dengan aktivitas studiku.

Memasuki momen perkuliahan yang sesungguhnya, aku mulai merasakan culture shock dengan kondisi belajar di perguruan tinggi. I was never expecting that college students would face such that condition.

Jadwal belajar yang cukup ketat dan tugas yang kian hari kian menumpuk, membuatku sedikit bingung untuk membagi waktuku. Beberapa minggu saat pertama kali menjadi seorang mahasiswi seutuhnya (dengan jadwal belajar yang normal), tubuhku merasa sangat kelelahan. Mata yang sering dipaksa untuk selalu sharp, dan otak yang terus diperas untuk berpikir, memikirkan tugas, materi, dan ide untuk menulis artikel, mungkin adalah beberapa faktor penyebab kelelahan itu.

Aku tidak bisa membayangkan betapa strong-nya aku dulu, bahkan jika diminta untuk mengulangnya lagi aku akan langsung menggelengkan kepalaku, Nooo. Bayangkan, setiap harinya aku harus bangun pagi untuk mengerjakan artikel dan pada pukul 6 aku harus sudah berangkat ke kampus, menerjang jalanan yang sangat ramai. Berdesakan dengan bocil yang nggak ada haluan dan para pekerja yang takut gajinya terpotong.

Seringkali aku datang terlambat, dan hanya menundukkan kepalaku saat memasuki kelas. Semua pasang mata menatapku. Tentu saja, aku sangat malu, terutama pada dosenku. Tapi lambat laun, aku sudah tidak lagi takut akan kondisi itu, meskipun diri ini selalu merasa tidak tahu diri.

“Aku sudah mengusahakan untuk datang lebih awal, tapi sepertinya keadaan genting (deadline artikel yang terlalu ketat) yang selalu membuatku datang terlambat, atau mungkin karena akunya yang tidak bisa mengatur waktu.. entahlah, aku hanya berharap hal itu tidak terulang lagi-lagi”

Saat jam istirahat tiba, aku sering mencuri-curi waktu untuk mengerjakan artikel di Hp karena dulu aku memang masih menitih karirku sendiri, belum sestabil sekarang, dimana artikel bisa langsung dihandle oleh penulis dalam timku, jadi tidak memerlukan effort yang lebih.

“Aku seringkali tidak fokus saat ditanya oleh teman-temanku karena yang kupikirkan saat itu adalah apakah aku bisa menyelesaikan semua artikel sebelum deadline? Bagaimana jika nanti aku belum selesai?” Pikiran itulah yang membuatku selalu overthinking, jauh dari kata mindful (sadar dengan kondisi saat ini). Bahkan sering merasa cemas dan memilih untuk tidak banyak bicara kecuali jika aku dituntut untuk speak up, misalnya ketika presentasi di kelas, tanya jawab, atau aktivitas lain di kelas.

Bagiku, kelas adalah tempat dimana aku harus memfokuskan diri untuk belajar. Bukan belaga rajin, tapi di luar kelas, aku sudah kesulitan untuk meluangkan waktuku untuk belajar. Jadi, momen belajar yang berharga bagiku adalah di kelas. Di mana aku bisa sejenak melupakan tanggungan artikel, dimana aku bisa berinteraksi dengan teman-teman lainnya dan dosen untuk membahas hal-hal yang baru, dan juga dimana aku bisa meng-improve skill bahasa Inggrisku. That place is valuable.

Simply, aku hanya ingin menyeimbangkan aktivitasku, making all balance. Saat bekerja, aku harus fokus bekerja dengan maksimal. Saat belajar, akupun harus melakukannya dengan maksimal. Ya walaupun aku sendiri tahu, manusia memiliki keterbatasan untuk bisa fokus pada segala hal. Namun, pada saat-saat yang sibuk seperti itu, multitasking adalah jalan ninjaku.

Kadangkala jika aku memiliki banyak waktu luang di kampus, aku gunakan waktu istirahat itu untuk mengulas materi sejenak atau belajar dengan teman-temanku. Jika sudah sangat lelah, aku memilih untuk tidur di asrama temanku, sejenak merebahkan diri dan mengistirahatkan pikiran dari kehidupan yang keras.

Sepulang dari kampus, biasanya aku beristirahat sebentar untuk mengisi perut, setelahnya pikiranku sudah langsung tertuju pada laptop, teman kerjaku. Habis Maghrib, biasanya aku menggunakan waktuku untuk mengajar les adik-adik SD. Jika sudah selesai, aku melanjutkan kembali kegiatan menulisku. Jam 9, 10, 11, tak terasa sudah jam 1 pagi. Kadang kalo masih kuat, aku lanjutkan untuk menulis sampai jam 2. Kalo mata rasanya sudah sangat berat, biasanya aku tidak sengaja ketiduran di depan laptop. Entahlah, aku merasa pola hidupku saat itu sangatlah buruk. Tidur tidak teratur, makan sekadarnya, sering begadang sambil ngopi. Intinya sudah tidak baik untuk kesehatan fisik dan mentalku.

Mungkin beberapa dari kalian bertanya-tanya, kenapa harus sengoyo itu, kalo merasa tidak sanggup mengatur waktu lebih baik ninggalin pekerjaannya daripada kesehatan terganggu.

Hmm, aku mau sejenak inhale exhale dulu ya, biar ada jeda ..

Sebenarnya, aku sendiri ada keinginan untuk mengakhiri semuanya (berhenti bekerja), tapi aku baru saja memulai menjadi seorang penulis. Aku tidak semudah itu menyerah. Bagiku, jika kita ingin menggeluti suatu bidang dengan sungguh-sungguh, suatu saat kita akan memetik hasilnya, atau dengan kata lain ‘sukses di bidang’ itu. Prinsip itulah yang selalu aku pegang sampai sekarang.

Tapi aku sendiri pun sadar jika pola hidupku saat itu sangatlah buruk, dan aku sangat menyayangkan hal itu. Mengapa aku bisa sekaku itu terhadap diriku sendiri? Mengapa aku tidak menerapkan hidup sehat pada momen yang sibuk dulu? Pertanyaan mengapa hanya menjadi sebuah penyesalan. Dampaknya baru terasa sekarang, 2 tahun setelah bekerja dengan sistem yang ketat, tubuhku menjadi gampang lelah, dan seringkali terserang anxiety, kecemasan yang berlebihan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, semua sudah berlalu dan memberikan banyak sekali pelajaran berharga.

Sekarang aku ingin memperbaiki hidupku, dan akupun juga ingin mengajak teman-teman melakukan hal itu demi kesejahteraan hidup.

Lakukan semuanya sewajarnya, jangan terlalu kaku pada diri sendiri. Pada keadaan sibuk, kita harus bisa mengatur waktu dengan baik. Luangkan waktu untuk beristirahat di siang hari, jangan sampai telat makan, sesekali olahraga walaupun hanya jalan pagi atau bersepeda, juga jangan lupa makanan-makanan yang bergizi seperti buah, sayur, dll. Kalo ada hari libur luangkan waktumu untuk me time (meluangkan waktu untuk menyenangkan diri sendiri), atau quality time (menghabiskan waktu bersama orang tercinta).

Waktu berjalan dengan sangat cepat, detik demi detik keadaan berubah. Jadi, manfaatkan waktumu dengan bijak dan tetap yang terpenting adalah prioritaskan dirimu, terutama kesehatan fisik dan mentalmu. Stay healthy and safe!

Semoga bermanfaat!

Penulis: Nama Pena Yulian Saver

 

 

 

Comments

Wirda said…
Semangat terus mbak luluk. Terimakasih mbak luluk sudah berbagi kisah yg menginspirasi.
semoga sehat dan bahagia selalu🌻🌻
Heppiyo said…
Become multitasker is not easy, should have well prepararation and well management. Yang perlu ditanamkan di diri sendiri, bagaimana kita mencintai apapun yang kita lakukan, dan jangan pernah memaksakan sesuatu yang membebani. Ingat, Kesehatan lebih utama (mental maupun fisik). Stay healthy inside and outside bestie!! U should be grateful for this.
Sanflawer said…
@Wirda
Thank you for appreciating this writing.. Semangat juga buat mbk Wirda..

@Heppiyo
Totally agree with your opinion, both are extremely important..

Popular posts from this blog

Kisah Inspiratif: Lika-liku Penghafal Qur'an Menghadapi Psikomatis

Kisah Inspiratif Penghafal Al-qur'an - Menghadapi Ujian Sakit

Keelokan Sang Akhirul Zaman yang Dinantikan Syafaatnya